PLTU Tarun

KOLOM OPINI2642 Views

Ditulis Oleh Adinda Franky Nelwan

Pengantar

Pelajaran berhikmat [lesson learned], dari proyek pembangunan pembangkit listrik yang berulang-ulang kali tertunda, telah dipetik dan diutarakan dalam artikel ini. Data dan fakta diperoleh dari berbagai berita media massa [cetak maupun daring], dokumen publik yang kredibel, serta berbagai literatur, yang kemudian dikaji, diolah secara kritis. Lalu dituliskan secara ilmiah-populer, sebagai sumbang saran hasil pemikiran yang diupayakan sekuat mungkin untuk: obyektif. Agar penundaan tidak terulang dan lebih dari itu agar tidak menjadi ‘proyek gagal’ yang merugikan Negara, PT. PLN(Persero) kurang lebih sekitar Rp. 180 Milyar. Dan merugikan puluhan ribu rakyat di Kabupaten Kepulauan Talaud.

Kronologi Rencana dan Harapan

Senin, 25 Maret 2013, terbit berita bahwa PLTU di Desa Tarun – Kecamatan Melonguane sementara dibangun, diharapkan pada tahun 2014 sudah dapat menghasilkan daya listrik dari 2 unit, masing-masing 3,5 MW. Daya listrik itu direncanakan akan dialirkan sampai ke Pulau Salibabu, melalui kawat udara. Tahun 2014 berlalu, rencana dan harapan belum terwujud. Begitu juga tahun 2015, pembangunan belum selesai. Juli 2016 terbit berita, berisi harapan baru bahwa satu unit berdaya 3 MW (artinya, sudah berkurang 0,5 MW dari berita semula) direncanakan akan selesai diakhir 2017. November 2016 terkuak fakta bahwa PLTU Tarun termasuk dalam 34 proyek pembangkit listrik mangkrak, yang sedang dikaji ulang. Apakah dihentikan atau dilanjutkan? Hasil kaji ulang: PLTU Tarun dilanjutkan! Karena dianggap masih memenuhi kualifikasi baik secara hukum maupun secara finansial/pembiayaan. Sedangkan 12 proyek pembangkit dihentikan! Akibatnya PLN rugi, Negara dan Rakyat ikut menanggung kerugian.

Maret 2017, pejabat PLN menyatakan bahwa PLTU Tarun sudah 85% selesai. Diharapkan sudah dapat beroperasi secara komersial (commercial operation date/COD) diakhir tahun 2017, untuk menambah pasokan listrik bagi 13 ribu pelanggan (atau sekitar 65 ribu orang) di Pulau Karakelang dan Salibabu. Namun, sampai dengan 31 Desember 2017, 2018, dan 2019; harapan itu lagi-lagi, tak jadi kenyataan. Bahkan pada Januari 2020, dikabarkan pelabuhan bongkar-muat (jetty) batubara untuk PLTU Tarun, sudah rusak diterjang ombak. Dua bulan setelah itu para wakil rakyat (Komisi II) Kabupaten Kepulauan Talaud mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Ibukota. Dikabarkan bahwa PLTU Tarun sudah 91,25% selesai; yang penyelesaiannya diambil-alih oleh anak perusahaan PT. PLN(Persero) yaitu PT. Pembangkitan Jawa Bali, serta rencana kajian pemakaian biomassa sebagai pengganti sebagian batubara. Selain itu terungkap juga harapan baru bahwa tahun 2021, PLTU Tarun sudah akan selesai. Apakah tahun 2021, sudah selesai? Ternyata belum juga! Namun ada kabar dan harapan baru lagi. Kali ini datang dari Menteri ESDM, bahwa PLTU Tarun direncanakan beroperasi untuk menghasilkan 6 MW pada tahun 2022, menggunakan biomassa. PT. PLN (Persero) dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, jelas menyatakan bahwa PLTU Tarun akan selesai dibangun dan beroperasi secara komersial, pada tahun 2022.

Harapan 2022: PLTU Biomassa

Sekarang sudah bulan Juli, tahun 2022 sudah lebih dari separuh jalan. Apakah PLTU Tarun akan selesai? 2 Tahun lalu, dinyatakan status pembangunan sudah 91,25%. Berarti, sejak 2013 laju kemajuan proyek rata-rata adalah: sekitar 10% per tahun. Maka untuk mencapai 100% pada akhir tahun ini, cenderung/hampir pasti terjadi! Bila dialokasikan dana investasi tambahan untuk itu.

Pertanyaan selanjutnya, setelah PLTU itu selesai apakah mampu melakukan produksi listrik menggunakan sumber energi primer biomassa? Jawabannya tergantung pada ketersediaan biomassa di Pulau Karakelang dan sekitarnya. Di tempat lain, PLTU Biomassa telah teruji, terbukti berhasil dibangun dan beroperasi. Misalnya di Merauke, Papua sebesar 3,5 MW; di Pulau Bangka sebesar 7 MW. Kedua PLTU itu memanfaatkan kayu. PLTU Merauke membakar Kayu yang berasal dari Hutan Tanaman Industri, PLTU Bangka menggunakan Kayu yang berasal dari kebun masyarakat.

Biomassa paling potensial di Pulau Karakelang adalah yang berasal dari Pohon Kelapa. Tahun 2021 tercatat produksi sekitar 8 ribu ton kelapa. Bila 20% nya adalah tempurung kering, dan 1 kg tempurung mengandung 4.300 kilo kalori; maka dapat dihasilkan daya listrik sekitar 300 kW listrik, atau energi listrik sekitar 2,7 GWh dalam setahun. Artinya, dari tempurung saja, tidak akan cukup untuk mencapai daya 6.000 kW. Bila ditambah sabut kelapa, yang mengandung 3.300 kilo kalori per kilogram bagaimana? Juga tidak akan cukup! Kalau begitu, bagaimana dengan sampah kota (sekitar Desa Tarun) yang berpotensi sekitar 2.200 kilo kalori per kilogram? Juga tidak akan cukup!

Rekomendasi

Kalau begitu, untuk mencukupinya, apa yang perlu dilakukan? Solusi pertama, tentu tetap mendatangkan batubara dari Kalimantan. Yang dicampur dan dibakar bersama-sama (co-firing) dengan biomassa dalam boiler. Inilah solusi jangka pendek. Solusi kedua, perlu dibuat ‘kebun energi/biomassa’; yaitu perkebunan yang khusus yang nantinya akan dipanen, lalu ditanam ulang; secara berkesinambungan. Misalnya, kebun itu ditanam jagung, karena tongkol, daun dan batang jagung mengandung energi sebanyak 2.000 s/d 3.500 kilo kalori per kilogram. Setiap kali panen, tongkol-daun-batang dijadikan bahan bakar PLTU, dan bijinya dijadikan bahan makanan.

Penutup

Apakah pelajaran berhikmat [lesson learned], dari tertunda-tundanya penyelesaian PLTU Tarun? Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, tentunya proyek itu kurang dilandasi studi kelayakan proyek, proses tender dan atau rekayasa-pengadaan-konstruksi [Engineering-Procurement-Construction/EPC] yang efektif dan profesional. Hal ini jelas dari perubahan sumber energi primer yang semula adalah batubara, dan sekarang berubah ke biomassa. Sekitar sepuluh tahun lalu, PLTU Batubara Skala Kecil, merupakan teknologi pembangkitan yang masih relatip baru, belum terlalu dikuasai dan teruji. Sehingga kasus PLTU Tarun dan lainnya, dapat dianggap sebagai proses ‘trial and error’ dalam penguasaan teknologi PLTU Skala Kecil. Kedua, mendatangkan sumber energi primer batubara dari tempat sejauh 1.500 km dengan tonase yang relatif kecil, sungguh tidak efisien. Ketiga, oleh karenanya pemanfaatan sumber energi primer yang ada di dekat pusat pembangkit listrik adalah pilihan terbaik untuk masa kini maupun di masa depan.

Catatan Kaki

  1. PLTU adalah kependekan dari pembangkit/pusat listrik tenaga uap. Uap yang bertenaga besar sanggup memuntir rotor turbin dan lalu rotor generator. Sesuai prinsip induksi elektromagnetik, mengakibatkan stator generator menjadi bertenaga listrik. Bagaimana membuat uap sehingga bertenaga besar? Dengan cara memanaskan air sampai bertemperatur tinggi dan bertekanan tinggi. Darimana sumber panas itu? Dari hasil pembakaran batubara dan atau penggantinya, seperti biomassa.
  2. Biomassa adalah energi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berujud benda padat, misalnya tandan kelapa sawit, ampas tebu, pohon karet, pohon bambu, tempurung kelapa, sekam padi, ubi kayu, tongkol jagung, dsb. Benda padat itu ada kalanya dijadikan gas melalui suatu proses kimiawi. Bila telah menjadi gas, umumnya dinamakan biogas.

Adinda Franky Nelwan
Dosen Fakultas Teknik-Universitas Sam Ratulangi
afnelwan@unsrat.ac.id