by

Medical Bioengineering

Ditulis Oleh David Pang

Pengantar

Dalam tubuh manusia terdapat jaringan saraf dengan panjang total sekitar 150.000 – 180.000 km (Pakkenberg et al., 1997), dan jumlah neuron dalam otak sekitar 86 miliar. Panjang saraf tersebut jauh melebihi keliling bumi. Dalam jaringan saraf ini terdapat signal listrik dari dan ke otak, yang mengandung sangat banyak informasi yang merefleksikan kondisi tubuh, keadaan mental, maupun situasi emosi seseorang. Ada dua cara untuk mengakses signal dalam tubuh, yaitu invasive dan non invasive. Teknik non invasive umumnya lebih disukai karena tidak melukai tubuh.

Dengan mengakses signal pada jaringan saraf, informasi tertentu dalam tubuh seseorang bisa diketahui. Signal ini bisa dimanfaatkan, baik dalam bidang clinical engineering untuk pengobatan ataupun untuk meningkatkan mutu hidup manusia melalui alat bantu yang memanfaatkan signal-signal tersebut.

Contoh penggunaan signal otak untuk meningkatkan kualitas hidup manusia adalah digunakannya Brain Computer Interface untuk membantu para penderita kelumpuhan total berkomunikasi, seperti yang dipublikasikan oleh Thavasimuthu et. al, 2019. Demikian juga pengetahuan tentang berbagai signal dalam tubuh manusia bisa juga bisa digunakan dalam bidang clinical engineering sebagai alat bantu untuk melakukan prognosis keadaan pasien ke depan dalam waktu dekat. Prognosis ini bisa membantu dokter melakukan pencegahan awal atau pun mengantisipaasi keadaan pasien ke depan.

Dasar Teori

Sistem saraf manusia terdiri atas sistem saraf pusat dan sistem saraf periferal. Sistem saraf pusat terletak pada otak dan tulang belakang, sedangkan sistem saraf periferal letaknya di luar otak dan tulang belakang. Pada sistem saraf periferal ini terdapat saraf otonom yang mengatur kerja tubuh manusia tanpa disadari atau tanpa disengaja. Sistem saraf otonom ini terdiri dari 2 bagian yang kerjanya saling berlawanan, yaitu sympathetic dan parasympathetic.

Sistem saraf parasympathetic diasosiasikan dengan fungsi vegetatif atau “rest and digestion”, yaitu mengatur fungsi tubuh untuk beristirahat, atau menyerap makanan yang kita makan. Sedangkan sistem saraf sympathetic diasosiakan dengan fungsi “fight or flight” yaitu mengatur fungsi tubuh untuk bereaksi secara cepat terhadap suatu keadaan walau di luar kontrol secara sadar, misalnya jantung yang berdebar kencang saat dalam bahaya. Kedua sistem saraf ini ibarat “yin dan yang” yang saling bekerja secara berlawanan namun saling melengkapi.

Seperti yang terlihat pada gambar, kedua sistem saraf otonom sympathetic dan parasympathetic mengendalikan fungsi vital pada tubuh manusia, di antaranya: fungsi-fungsi pencernaan, fungsi sexual, detak jantung, dan pernapasan. Karena fungsi sistem saraf ini mengontrol organ-organ vital pada manusia termasuk detak jantung, maka dengan menganalisis irama detak jantung pasien sehingga tenaga medis bisa mengetahui kondisi sistem saraf otonom pasien dan selanjutnya bisa melakukan prognosis terhadap keadaan tubuh pasien yang terkait dengan sistem saraf otonom dimaksud.

Contoh implementasi

Untuk melakukan asesmen terhadap fungsi saraf otonom (dan dengan demikian terhadap berbagai fungsi tubuh yang terkait sistem saraf ini) maka dilakukan analisis terhadap irama detak jantung menggunakan alat EKG atau Elektro Kardiografi. Detak jantung pada tubuh yang sehat adalah detak jantung yang variatif, sebagai hasil dinamika antara kinerja saraf sympathetic dan parasympathetic yang saling berlawanan. Detak jantung yang makin lama makin seragam merefleksikan penurunan fungsi saraf otonom.

Variasi ini diukur dari puncak detak jantung yang satu dengan puncak detak jantung yang lain, dalam hal ini puncak signal dari detak jantung disebut sebagai R-peak.

Parameter pengukuran variabilitas detak jantung ini kemudian dihitung dengan berbagai metode pengolahan signal menggunakan metode analisis domain waktu, analisis domain frekuensi, berbagai analisis non linear, analisis Poincare, maupun analisis PUCK (Potential Unballance Complex Kinetics).
Kami pernah menguji sistem prognosis ini pada HCU (High Care Unit) dan ICU (Intensive Care Unit) di rumah sakit Saisekai Kumamoto Japan tahun 2017, namun baru sampai tahap eksperimental. Tujuannya adalah untuk memprediksi keadaan pasien dalam waktu dekat, apakah perlu dirawat di ruangan ICU/HCU atau pun sebaliknya apakah kondisi pasien dalam ruangan HCU/ICU akan membaik dan bisa dipindahkan ke ruang rawat inap biasa. Karena berbagai kompleksitas, sistem ini belum diimplementasikan hingga sekarang sehingga masih terbuka luas kemungkinan riset ke arah tersebut.

Tantangan dan Saran

Berbagai signal listrik dalam tubuh manusia belum sepenuhnya dapat dideteksi, diproses, dan dimanfaatkan secara optimal, baik dalam bidang clinical engineering maupun hal-hal lain yang bisa meningkatkan kualitas hidup manusia. Riset ke arah itu dari tahun ke tahun semakin meningkat, ditandai dengan makin banyaknya jumlah jurnal riset ilmiah dalam bidang medical bioengineering. Pembelajaran dan program studi dalam bidang ini masih terbuka luas tetapi belum banyak diminati di Indonesia.

Karena itu perlu adanya kerja sama yang erat antara berbagai lembaga, baik lembaga pemerintahan, pendidikan, industri, kesehatan, dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Di luar negeri, misalnya di Japan, ekosistem tersebut telah terbentuk dengan baik. Berbagai riset dan kerjasama sudah dilakukan , misalnya kerjasama antara laboratorium tempat saya melakukan riset dengan pabrikan otomotif Honda, pabrikan elektronik Panasonic, berbagai rumah sakit, dan dengan pemerintah Japan sendiri.

Dengan adanya program merdeka belajar, di mana mahasiswa dibebaskan mempelajari ilmu yang semakin kompleks dan dengan adanya pemberdayaan BRIN, saya optimis ekosistem ini secara bertahap akan tercipta sehingga membentuk sistem simbiosis yang saling bersinergi.

David Pang
Dosen Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi