Berita Samosir, OLNewsindonesia Selasa (3/12)
Event Horja Bius di Gelar pemerintah kabupaten Samosir, Sumatera Utara selama dua hari di Tomok, kecamatan Simanindo, yang mana makna Nyawa Kerbau Untuk Kemakmuran Bius Tomok dan Tolak Bala di Danau Toba.Seluruh Warga Kampung Santap Bersama.
Pada hari kedua acara “horja Bius” Tomok 2019 seekor kerbau diarak ke tengah halaman rumah adat Batak oleh kelompok Raja-raja Bius tepatnya di Desa Tomok, Kecamatan Simanindo Pulau Samosir.
Daulat Ambarita yang berstatus boru/pengambil istri dari marga Parna dalam Raja Bius Tomok ditugaskan memimpin eksekusi seekor kerbau yang telah ditambatkan.
Diiringi tabuhan gendang Batak “gondang sabangunan” kerbau jantan pun ditambatkan di “borotan” (sebatang kayu yang ditancapkan berdiri) sambil dikelilingi manortor. Muncung hingga leher kerbau pelean/persembahan diikat pakai rotan yang dijalin seukuran jari orang dewasa.
Orang-orang manortor mengikuti irama gondang dan sarune yang meliuk-liuk. Terkadang khusuk, dan terkadang tampak bergembira penuh sukacita sesuai irama dan tabuhan gondang yang dialunkan.
Sebelum eksekusi atau “mangalahat” (menyembelih dengan tomkan) oleh Daulat Ambarita, para Raja Bius 8 marga yang ada di Tomok dipersilahkan “marsatti” (membuat perrsembahan) sekaligus mangaliat (manortor brrkeliling).
Dalam kesempatan ini, para Raja Bius juga mengajak etnis di luar Batak seperti suku Jawa yang sudah tinggal di Tomok manortor, tak terkecuali wisatawan.
Sehari sebelumnya, berpakaian adat Batak lengkap dan berselempang ulos sejumlah warga dua desa di Tomok berbondong-bondong ziarah ke Makam Raja Sidabutar selaku penguasa Tomok di Desa Tomok Parsaoran, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Jumat (29/11/2019).
Prosesi ini merupakan awal dari diselenggarakannya ritual “Horja Bius” yang merupakan upacara adat Tradisional Batak Toba secara khusus di Bius Tomok.
Ketua Panitia pelaksana Amput Sidabutar menjelaskan, dalam pelaksanaan “Horja Bius” 2019 ini sehari sebelumnya mereka diawali berziarah ke Makam leluhur penguasa Tomok Raja Sidabutar, sekaligus berdoa kepada Tuhan Maha Pencipta. Selanjutnya, bergerak menuju Pantai Danau Toba melanjutkan doa-doa kepada “Saniang Naga Laut” yang biasanya disapa “Namboru” selaku titisan Tuhan yang berkuasa atas air, khususnya Danau Toba.
Amput Sidabutar menyampaikan Horja Bius Tomok ini sesuai tradisi leluhur secara turun temurun digelar oleh “Raja Bius, Raja Na Ualu” (Raja 8 Marga Warga Tomok) dan empat dari Marga itu merupakan Marga Parna dan empat lainnya di luar marga Parna. Ritual “Horja Bius” ini dulunya dilakukan apabila hasil pertanian, baik peternakan tidak memadai maka, Raja Bius, Raja Na Ualu” (Raja 8 Marga Warga Tomok) tadi sepakat melaksanakan sebuah upacara adat atau musyawarah dengan harapan dapat menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi, dan pemegang tampuk kekuasaan adalah Marga Sidabutar.
Dalam pelaksanaannya, para Raja Bius menghadirkan “Datu” atau ahli spritual yang mampu menerawang hal apa yang akan terjadi, serta apa yang harus dihindari sehingga bala bisa dijauhkan. Dalam hal ini, Datu akan berpesan tentang apa yang selayaknya dikerjakan untuk melengkapi nazar yang sudah dilaksanakan.
Ada pun doa yang disampaikan di Danau Toba agar kiranya musibah-musibah dijauhkan dari Danau Toba. Orang-orang sekitar Danau Toba pun diberkati dan diberi kesehatan oleh Sang Maha Pencipta dalam menyambung hidup, termasuk para wisatawan dijauhkan dari mara bahaya.
“Kita juga berdoa kepada tuhan, agar bencana dijauhkan dari Danau Toba. Dan juga para wisatawan baik orang-orang yang beraktivitas di Danau Toba dilindungi,”beber personil Band Batak Marsada Band asal Pulau Samosir ini.
Dalam ritualnya adapun media doa-doa dalam ritual ke “Mual Natio Tao Toba” Danau Toba kata Amput, disembelih seekor kambing putih. Termasuk ikan Batak (Ihan Batak), Napinadar, Itak Gurgur dan Itak nahinopingan (Sejenis makaanan tradisional Batak berbahan tepung beras), sirih dan lainnya turut disajikan sebagai media doa-doa ke “Debata Mulajadi Nabolon” Tuhan Maha Pencipta.
Sekitar Pukul 15.30 WIB, tibalah saatnya seekor kerbau “horbo lae-lae” segera dieksekusi/”dilahat”. Ama Tiarlin Sijabat selaku yang masih Penganut agama Batak Parmalim pun kemudian dituakan “manguras” atau mensucikan kerbau di borotan pakai percikan air jeruk purut.
Selanjutnya, diserahkan kepada Daulat Ambarita yang berstatus boru/pengambil istri dari marga Parna Bius Tomok. Memegang tombak sambil manortor sesuai irama gondang tiupan saune, Daulat mengelilingi “horbo lae-lae”.
Ujung Tombak pun diarahkan ke leher kerbau, dan langsung diikuti para eksekutornya melanjutkan penyembelihan. Darah segar pun mengucur dari leher kerbau, kemakmuran pun diharapkan segera tercapai di Bius Tomok sesuai yang mereka yakini.
Amput Sidabutar kembali menceritakan, kerbau itu disebut dengan “Horbo lae-lae. Jenis kerbau ini sengaja dipilih tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Hilangnya nafas kerbau itu diharapkan sekaligus membawa hilangnya segala bala atau kejadian-kejadian tak diinginkan dpada Bius Tomok. “Tujuannya, supaya bala yang pernah ada di sini hilang bersama hilangnya nyawa kerbau kurban di Bius Tomok ini,”terangnya.
Masih disekitar borotan, tanpa komando kerbau dikuliti untuk hidangan bersama. Kepala kerbau dan bagian-bagian khusus dipisahkan untuk parjambaron (jatah adat) Raja dan warga Bius Tomok.
MARSIPITU DAI
Daging kerbau dipotong berdasarkan peruntukan jambar. Bumbu dapur untuk “horbo lae-lae” pun dipersiapkan para kaum ibu dan muda-mudi.
Cerita Daulat, sekilas tentang Horja Bius adalah perkumpulan ang mengatur tatanan pemerintahan dan spritual pada satu kampung tempo dulu. Biasanya, ritual horja bius ini ketika jaman leluhur dilakukan memohon hujan dan kesuburan pertanian.
“Dulumya ini untuk memohin kesuburan pertanian dan menjauhkan bala semisal kemarau berkepanjangan, atau “mangido gabe na ni ula, sinur na pinahan manang mangido udan,”terang pria yang akrab disapa Ama Swando Ambarita ini.
Dalam rangkaiannya, seluruh warga kampung yang diayomi Bius Tomok harus hadir. Sebagai posisinya dalam tatanan adat Batak, dia sebagai boru dipercakan memgambil borotan tempat kerbau diikat.
Sesuai estetika adatnya, mulai dari mendirikan borotan hingga “mangalahat” menyembelih pakai tombak, juga tidak terlepas dari peran boru dalam Bius tersebut. Tidak sampai di situ, seperti yang dilakukan pada Horja Bius Tomok 2019, peran boru juga demikian tidak ada bedanya hingga menghidangkan kerbau untuk disantap bersama.
“Begitulah rangkaiannya, dan yang kita lakukan sekarang adalah “Asa gabe na ni ula sinur na pinahan” (secara harfiah, pendapatan dan ekinomi warga Tomok dari sektor, hendaknya semakin meningkat. Dan kemakmuran pun mengikuti warganga),”tuturnya lagi.
Tentu, rangkaian acara tidak boleh ada yang terlalui. Selain berdoa kepada Tuhan Maha Pencipta, tentu mulai dari ziarah dari leluhur-leluhur dan titidan Maha Pencipta di Danau Toba, “Saniang Naga Laut” yang mereka yakini.
Setelah rangkaian berjalan sesuai alur, seluruh warga pun kembali berkumpul di tengah halaman “pogu ni alaman”. Makan bersama pun digelar sebagai penutup permohonan kemakmuran dan syukur yang dipanjatkan atas berkat yang diterima warga.
“Setelah sampai di halaman kampung, digelarlah ulaon “si pitu dai” (makan bersama),”tambahnya.
Ada pun doa khusus yang mereka panjatkan ke “Debata Mula Jadi Nabolon” (Maha Pencipta) pada Horja Bius 2019 ini, tentunya kata Ambarita kiranya Warga Bius Tomok di dua desa dijauhkan dari mara bahaya.
(JuntakStar)