Samosir, OLNewsindonesia Selasa (22/05)
Secara sederhana, gambaran keadaan sekolah dapat diperoleh melalui wawancara singkat dengan warga di sekitar sekolah. Informasi ini dapat dijadikan acuan gamblang untuk melihat apakah sekolah memiliki mutu sedikitnya dari asumsi dasar masyarakat. Namun demikian, secara profesional, diperlukan paramater yang jelas tentang keadaan mutu yang sesungguhnya dapat dilihat secara utuh.
Budaya mutu untuk pengembangan sekolah sedikitnya harus memiliki langkah-langkah kajian sistematis terhadap program dan proses pendidikan untuk mempertahankan dan memperbaiki mutu, keseimbangan, dan efisiensi (European Commission, 2017).
Dari perspektif ini berarti sekolah harus memiliki parameter yang jelas untuk dijadikan acuan gambaran mutu di sekolah sebagai tambahan dari wawancara sekilas dengan warga di sekitar sekolah melainkan lebih daripada itu.
UNESCO (2011) merincikan elemen-elemen utama sekolah sedikitnya ke dalam lima bagian besar yaitu (1) kebijakan sekolah, (2) kurikulum sekolah, (3) organisasi sekolah, (4) penjaminan mutu, dan (5) komunikasi. Lima hal ini merupakan dasar dari paramater budaya mutu di sekolah yang perlu menjadi fokus para pengelola sekolah dalam praktik sehari-hari. Jadi, para pengelola sekolah memerlukan parameter yang jelas akan ukuran budaya mutu.
Dalam konteks implementasi K-13, secara sederhana, parameter-parameter yang perlu dijadikan acuan adalah pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ke Standar Nasional Pendidikan (SNP) plus Manajemen Berbasis Sekolah.
Instrumen-instrumen ini perlu diberi penekanan dalam hal kesamaan persepsi antara pengelola kebijakan, pelaksana, dan pemangku kepentingan. Pemenuhan inilah yang menjadi parameter budaya mutu sekolah di setiap jenjang.
Idealnya, para pengelola kebijakan di tingkat daerah perlu mengadakan indeks keberhasilan setiap sekolah setiap tahunnya. Dengan demikian, yang memiliki indeks yang tinggi ditingkatkan dan indeks yang rendah dikuatkan.
Jadi, budaya mutu bukanlah penonjolan satu program khusus yang memiliki daya berita luas yang mengabaikan kita untuk melihat indikator-indikator keseimbangan parameter yang telah ditetapkan untuk kita capai secara bersama-sama di lapangan.
Paramater yang diindekslah yang perlu dirakit sedemikian rupa, untuk melihat sejauh mana para pelaksana teknis di sekolah, belum, sedang, dan telah melaksanakan budaya mutu.
Inilah yang dapat dijadikan acuan mutu secara utuh. Dari keluaran hingga dampak, kita dapat melihat produk didik, apakah mereka sudah memiliki daya hati, daya pikir, daya rasa, dan daya raga yang standar sebagai manifestasi dari paramater-parameter yang tercapai secara baik dalam praksis lapangan.
Secara teknis, perlu ada pemeringkatan sekolah berdasarkan paramater yang disepakati dan tersosialisasi secara utuh di setiap sekolah, dan diberi penekanan khusus oleh pengelola kebijakan dan pemangku kepentingan.
Di salah satu negara bagian di Amerika Serikat, sekolah yang memperoleh peringkat pertama, diberi suntikan dana pengelolaan sekolah yang dikelola secara mandiri, untuk  peningkatan budaya mutu dengan program inovasi oleh sekolah tersebut.
Jadi, efek penyertanya adalah setiap sekolah berupaya untuk menjadi yang terbaik dalam hal budaya mutu yang terukur berdasarkan paramater-parameter yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh para pihak.
Singkatnya, marilah kita tetap mempedomani paramater-parameter budaya mutu mulai dari SPM hingga ke SNP dengan Manajemen Berbasis Sekolah, sehingga kita berada pada jalur yang tepat tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan, sehingga wawasan budaya mutu kita tidak terbelokkan oleh cara-cara tidak objektif untuk melihat budaya mutu itu sendiri melainkan menggunakan alat ukur yang sahih dan andal. Semoga … !
Oleh MKKS SMP KABUPATEN SAMOSIR Mei 20, 2018, Saut Marasi Manihuruk, S.Pd.
(JuntakStar)