Kolom Opini, Berita Online Indonesia Di Online News Indonesia, www.olnewsindonesia.com
Ditulis oleh:
Adinda Franky Nelwan
Dosen Fakultas Teknik -Universitas Sam Ratulangi
[email protected]
Pendahuluan
Artikel bagian pertama telah mengomentari empat paragraf Ringkasan Eksekutip Draft Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional [RUKN] 2023-2060. Agar tidak terlalu panjang, artikel ini berisi komentar pada satu paragraf saja, yaitu paragraf V, khususnya mengenai rencana pembangunan transmisi antar pulau. Seperti pada bagian pertama, artikel ini berisi komentar-komentar otentik dengan pilihan gaya penulisan dialogis. Isi pernyataan dalam Ringkasan Eksekutip Draft RUKN [selanjutnya disingkat sebagai RER] ditulis sebagaimana adanya. Lalu dikomentari oleh penulis [AFN]. Semoga komentar-komentar itu, bermanfaat dalam finalisasi dokumen Peraturan Menteri ESDM RI, dan tentu bermanfaat pula bagi sidang pembaca yang terhormat.
Sebelum masuk ke inti artikel, perlu juga dikomentari tentang pemuluran rencana. Draft RUKN 2023-2060, sampai dengan 31 Desember 2023, belum juga ditetapkan. Penundaan penetapan merupakan gejala yang acap terjadi di Indonesia. Bila digunakan Teori Relativitas Khusus Einstein, tentang dilatasi (pemuluran) waktu, maka dapat diduga: (1) Draft RUKN 2023-2060 telah mengandung materi/substansi yang bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan ‘suara’ dan mendekati kecepatan ‘cahaya’. Atau mungkin saja, (2) materi tidak bergerak cepat; namun terdapat pengamat atau aktor-aktor yang bergerak cepat. Menurut hemat kami, karena materi tidak bergerak terlalu cepat; maka yang terjadi adalah alternatif kedua. Yaitu adanya aktor-aktor yang bergerak cepat dan memiliki pengaruh yang kuat.
Paragraf Kelima
RER: “Pada bidang penyaluran, pengembangan diarahkan untuk menyalurkan tenaga listrik ke Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus, smelter, Daerah Prioritas Pariwisata, dan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu. Pengembangan juga diarahkan transmisi HVDC untuk evakuasi daya jarak jauh (point to point antar pulau), minimal 1 Gardu Induk (GI) untuk setiap kabupaten/kota, penambahan trafo GI apabila pembebanan telah mencapai sekitar 70%, pembangunan Gas Insulated Switchgear (GIS) untuk lahan terbatas, penurunan susut, dan rehabilitasi jaringan tua. Untuk menuju NZE diperlukan super grid yaitu interkoneksi antar pulau karena terdapat mismatch antara pusat beban dan lokasi sumber EBET.”
AFN: Dua kalimat pertama pada paragraf ini, bukan kalimat baru karena sama persis dengan RUKN 2019-2023. Artinya rencana terdahulu, yaitu transmisi menuju Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus, smelter, Daerah Prioritas Pariwisata, dan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu; perlu dilanjutkan pembangunannya. Begitu juga dengan pembangunan simpul-simpul listrik, yaitu gardu-gardu listrik di dekat pusat-pusat beban.
Kebaruan terletak pada kalimat ketiga; yang menyatakan perlunya ‘super grid’. Yaitu transmisi antar pulau yang berfungsi sebagai ‘jembatan listrik’ agar energi listrik dari dari suatu pulau yang ‘kaya’ dengan cadangan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), dapat dikirim ke pulau yang memiliki diman (demand) listrik yang besar. Kebaruan terletak pada argumen pemanfaatan cadangan EBET yang selama ini disimpan, karena terletak jauh dari pusat-pusat beban. Misalnya cadangan energi air di pulau Kalimantan dan Papua dengan skala giga watt, jauh melebihi diman di pulau-pulau itu. Sehingga perlu dikirim melalui suatu jaringan transmisi antar pulau.
Transmisi listrik antar pulau, sejatinya, suatu gagasan lama. Bahkan antara pulau Jawa, Madura dan Bali (Jamali) sudah terbangun sejak puluhan tahun lalu. Transmisi Jawa-Sumatra pun sudah lama di-niat-kan menggunakan teknologi tegangan tinggi arus searah (TTAS, atau ‘high voltage direct current’/HVDC). Niatan itu sudah menjadi kenyataan di atas kertas desain teknis, dan sudah dimulai pembangunan fisiknya, walau tersendat-sendat. Mengapa? Tentu karena biaya konstruksi yang besar. Salah satu studi, pada tahun 2007, menerbitkan angka perkiraan biaya konstruksi TTAS Jawa-Sumatra adalah lebih dari enam belas trilyun rupiah. Biaya sebesar itu, tampaknya membuat gamang, sehingga aktor-aktor tingkat tinggi pada masa itu, berdebat habis-habisan dan lalu melahirkan keputusan yang inkonsisten.
Pada bagian lain, pembangunan transmisi antar pulau dengan skala biaya relatif lebih rendah, telah berlangsung dan berhasil dibangun. Misalnya antara Tanjung Carat di Pulau Sumatra dengan Muntok di Pulau Bangka. Proyek ini menyerap biaya sekitar satu koma empat trilyun rupiah, menggunakan teknologi arus bolak-balik, 150 kV yang berhasil diselesaikan pada tahun 2022. Artinya, pembangunan transmisi antar pulau pun sudah sementara berlangsung.
5 Desember 2017, di kampus Universitas Indonesia, transmisi tenaga listrik antar pulau telah disinggung dan dibahas dalam suatu Seminar Nasional yang melibatkan akademisi, Direktorat Jendral Ketenagalistrikan, PT. PLN (Persero) dan publik. Seminar merekomendasikan perlunya transmisi energi listrik antar pulau besar sehingga pada akhirnya, pada suatu waktu di masa depan, tersusunlah suatu jaringan listrik yang menyatu, tidak terpisah-pisah. Ibarat sabuk konduktor yang menghubungkan Sabang-Merauke-Miangas-Rote, menjadikan Indonesia sebagai satu jaringan ketenagalistrikan yang terintegrasi atau terinterkoneksi.
Rekomendasi atau harapan seminar itu, dilandasi beberapa argumen. Antara lain adanya fakta biaya pokok produksi (BPP) listrik antar pulau yang berbeda-beda. Misalnya pada tahun 2020, di Kalimantan Timur 1.321 [Rp/kWh], sedangkan di Toli-toli Sulawesi Tengah: 1.914 [Rp/kWh]. Disparitas / kesenjangan BPP antar pulau dapat dikurangi oleh saluran transmisi antar pulau. Sehingga BPP (agregat) Nasional, tentulah akan berkurang. Bila BPP Nasional berkurang, maka adalah wajar bila tarif listrik akan dapat ditekan. Selain itu, transmisi listrik antar pulau secara fisik sungguh menyatakan kesatuan Negara-Bangsa kita. Semua suku bangsa disatukan, ‘diikat’ oleh sabuk energi listrik. Dari sabuk itu dapat disalurkan energi listrik yang terjangkau, mencerdaskan dan memakmurkan. Bahkan dapat dijadikan wahana lalu-lintas energi listrik dari dan ke negara-negara tetangga seperti: Australia – Timor Leste – Brunai – Malaysia dan negara-negara di benua Asia. Atau menjadi jembatan listrik antar benua, di masa depan.
Adalah Doktor Pekik Argo Dahono, pada tanggal 3 Oktober 2020 [15 bulan sebelum Guru Besar ITB tersebut wafat] telah memekikkan gagasan yang sama, bernama ‘Indonesia Supergrid’ di ‘papan tulis’ Facebook nya. Beliau berargumen bahwa Indonesia Supergrid diperlukan untuk meningkatkan efektivitas, keandalan dan resiliensi sistem tenaga listrik Indonesia. Gambar berikut ini, mengilustrasikan ‘Indonesia Supergrid’. Ibarat jalan raya, transmisi listrik antar pulau besar berperan sebagai tol listrik.
Penutup
Pembangunan transmisi antar pulau sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang. Visi baru, yaitu terbangunnya jaringan ketenagalistrikan Indonesia Raya (Indonesia Supergrid) yang menghubungkan pulau-pulau sehingga sambung-menyambung menjadi satu, demi efektivitas, efisiensi dan resiliensi sistem tenaga listrik Indonesia; perlu dituliskan dalam RUKN 2024-2060. Jaringan itu akan sungguh memperkuat kesatuan fisik Negara-Bangsa Indonesia, serta dapat menjadi infrastruktur ekspor listrik ke negara tetangga. Bukan hanya itu, juga berpotensi sebagai jembatan listrik antar benua Asia dengan Australia, seiring dengan rencana Australia untuk membangun transmisi listrik ke Singapura. Itu semua akan menimbulkan interdependensi dan memperkuat kerja sama antar negara maupun korporasi multi nasional. [Bersambung]