Kolom Opini, Berita Online Indonesia Di Online News Indonesia, www.olnewsindonesia.com
Pendahuluan
Empat paragraf Ringkasan Eksekutip Draft Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional [RUKN] 2023-2060, telah dikomentari dalam artikel pertama. Paragraf ke-5 dalam artkel kedua; berisi tentang transmisi listrik antar pulau. Sekarang –artikel ketiga–menanggapi paragraf ke-6; mengenai rasio elektrifikasi. Seperti pada bagian pertama dan kedua, komentardituliskan dengan gaya dialogis. Teks dalam Ringkasan Eksekutip Draft RUKN [RER] disalin apa adanya; lalu ditanggapi olehku [AFN]. Naskah RUKN yang menjangkau tahun 2060, sampai dengan hari ini, masih tetap dalam status: draf atau buram. Oleh karena itu, masukan dari khalayak ramai belum terlambat tentunya. Apalagi topik rasio elektrifikasi, tidak akan lekang dan usang untuk Negara Republik Indonesia yang bercita-cita menjadi negara bertenaga-listrik yang adil dan makmur.
Rasio Elektrifikasi
RER: “Arah pengembangan listrik perdesaan dan smart grid adalah perluasan akses listrik di daerah terpencil dan tersebar. Sasaran program listrik perdesaan adalah pencapaian rasio elektrifikasi 100% dan meningkatkan rasio desa berlistrik pada tahun 2024â€
AFN: Dua kalimat dalam paragraf itu, menyatakan target penyebaran ataupun distribusi energi/tenaga listrik sampai ke seluruh pelosok negri di daerah terpencil, dekat batas dengan negara tetangga, di pulau-pulau kecil yang jauh dari Ibukota namun dekat dengan batas wilayah negara. Paragraf itu, menyiratkan pengakuan negara/pemerintah bahwa masih terdapat sedikit rakyat yang belum menikmati listrik. Serta ditargetkan akan terlistriki pada tahun 2024. Tahun ini! Apakah target itu akan tercapai? Ternyata: belum akan!! Suatu Keadilan yang tertunda.
19 Januari 2024, pemerintah menyiarkan berita bahwa sampai dengan 31 Desember 2023 rasio elektrifikasi telah menyentuh angka 99,78%. Akan mencapai 100% nanti pada akhir tahun 2025. Artinya, target yang tertulis dalam RER sudah dikoreksi/diperbaiki atau sudah ditunda setahun. Dari 2024 ke 2025. Bila 99,78% setara dengan 70,4 juta rumah tangga; maka sekitar 156 ribu rumah tangga yang belum terlistriki. Menurut hitungan pemerintah sejumlah 186 ribu rumah tangga yang belum terlistriki. Angka itu kurang lebih setara dengan sekitar 700 ribu orang rakyat Indonesia. Jika rasio elektrifikasi adalah hasil bagi (rasio) antara jumlah rumah tangga telah terlistriki, dengan jumlah total rumah tangga; maka analog dengan itu diistilahkan rasio desa berlistrik. Sampai akhir tahun lalu, 99,83% desa telah terlistriki; tersirat bahwa ada sekitar 140 desa belum terlistriki. Dimana letak 140 desa itu? hampir semua berada di Pulau Papua.
Perlu riset lebih lanjut, apakah ini relevan dengan ketidakadilan yang memicu sebagian rakyat Papua untuk memberontak? Ataukah pemberontakan itu menghambat proses elektrifikasi rakyat Papua? Suatu relasi antar variabel yang resiprokal?
Bagaimana cara melistriki mereka yang terpelosok? Berita dari pemerintah menyatakan direncanakan 3 cara. Pertama, perluasan jaringan distribusi (grid) listrik yang telah ada (eksisting). Kedua, membangun sistem tenaga listrik komunal skala kecil yang cukup untuk sejumlah rumah tangga / desa / dusun; dengan memanfaatkan sumber energi surya dan atau air potensial setempat. Ketiga, memasang sistem tenaga listrik individual skala kecil terdiri dari 3 peralatan utama: stasiun pengisi energi listrik (SPEL), alat penyalur daya listrik (APDAL) dan instalasi rumah arus searah (IRAS). Ketiga cara itu akan dioperasikan dan kendalikan secara cerdas (smart) menggunakan teknologi informasi dan komunikasi terkini; sehingga membentuk suatu jaringan listrik cerdas (smart grid). Ketiga cara itu diperkirakan menyerap anggaran berturut-turut: 12,27 – 9,78 – 0,017 trilyun rupiah; sehingga total dibutuhkan sekitar 22 trilyun rupiah.
Itulah biaya untuk melistriki sekitar 7oo ribu rakyat Indonesia yang tertinggal dalam pembangunan ketenagalistrikan. Itulah biaya untuk mencapai status rasio elektrifikasi 100% pada akhir tahun 2025. Itulah ongkos keadilan. Semoga tercapai! Tidak tertunda lagi.
Konsumsi Energi Listrik per Kapita
Setelah itu apa lagi indikator pencapaian pembangunan ketenagalistrikan yang penting? Setelah terlistriki tentunya konsumsi energi listrik [kWh] per kapita yang perlu ditingkatkan. Bank Dunia mencatat bahwa pada tahun 1990-2000-2015-2019, berturut-turut konsumsi energi listrik Indonesia dalam satuan [kWh/kapita] adalah: 162-386-910-1.084 [kWh/kapita]. Bila dibandingkan dengan tetangga Singapura yang telah mencapai 8.844 [kWh/kapita] pada tahun 2014 maka jelas, kita telah tertinggal jauh. Apalagi bila dibanding dengan Australia: 10.071 [kWh/kapita] pada tahun 2014. Berdasar kategori itu, Indonesia masih berada dalam status negara berkembang, sedangkan Singapura dan Australia telah masuk dalam kelompok negara maju.
Penutup
Rasio elektrifikasi tercapai 100% semula ditargetkan terjadi pada tahun 2024, kemudian direvisi menjadi 2025. Semoga tidak tertunda lagi. Setelah itu direkomendasikan penulisan target peningkatan konsumsi energi listrik per kapita sampai dengan tahun 2060. Karena keduanya (rasio elektrifikasi dan tingkat konsumsi energi listrik per kapita) merupakan indikator yang menyatakan kondisi: kemiskinan versus kemakmuran energi listrik pada suatu negara. Bila ditambah indeks gini energi listrik menjadi himpunan indikator ekonomi makro: Keadilan Energi Listrik.
[afn]