Berita Samosir.OLNewsindonesia, Jum’at (25/1)
Mulai tahun ajaran 2019/2020 pemerintah akan mengintegrasikan Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) menjadi Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Pengintegrasian data tersebut bertujuan untuk mendukung program wajib belajar 12 tahun dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem pendidikan lainnya yang berbasis zonasi.
Sebelumnya, memang Kemdikbud tidak pernah membahas tentang NISN yang harus diganti NIK dalam sistem PPDB 2019. Integrasi data dari NISN menjadi NIK tercantum dalam nota kesepahaman antara Kemendikbud dan Kementerian Dalam Negeri yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu.
Menyikapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan, Retno Listyarti mempertanyakan kesiapan dan sosialisasi dari pemerintah atas kebijakan pengintegrasian ini.
“Mengingat sebuah MoU yang baru ditandatangani dan langsung segera diimplementasikan hanya dalam tempo beberapa bulan saja, akan memiliki potensi bermasalah di lapangan ketika persiapan tidak dilakukan secara matang”, ungkap Retno Listyarti, komisioner KPAI bidang pendidikan kepada OLNewsimdonesia.com, Jum’at(25/1) melalui pesan seluler WhatsApp (WA).
Lanjut Retno, Pergantian NISN menjadi NIK tanpa ada pelibatan banyak pihak yang berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan, malah akan berpotensi menambah persoalan baru dalam PPDB 2019, ujarnya.
Ditambahkannya, ada empat rekomendasi yang akan kita ajukan kepada pemerintah, terkait Pengintegrasian NISN Menjadi NIK Dalam PPDB 2019 yakni :
1. Pemerintah harus Sosialisasi secara Masif .
Sebagai aturan yang baru, maka kebijakan integrasi NISN menjadi NIK harus disosialisasi secara Masif kepada semua elemen pendidikan, mulai dari tingkat dinas pendidikan daerah, pihak sekolah, siswa hingga orang tua.
Perubahan dari NISN menjadi NIK tidak lah sesederhana MoU yang dibuat diatas selembar kertas. Di level pelaksana kedua kementerian tersebut harus benar-benar memahami dan menguasai secara tehnis bagaimana proses pengintegrasian tersebut berlangsung sehingga tidak berdampak merugikan calon peserta didik baru.
Pergantian NISN menjadi NIK tersebut jangan malah mengganggu sistem pengadministrasian data siswa selama ini yang sudah ada dalam data pokok pendidikan (Dapodik). Seperti dalam proses pendaftaran ke pangkal data siswa dan sekolah (PDSS), yang mana sistem PDSS masih mengacu pada NISN.
Apalagi selama ini, pangkal data siswa dan sekolah (PDSS) sendiri merupakan satu-satunya dasar pertimbangan pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). PDSS memuat data, nilai prestasi akademik siswa dan prestasi lainnya serta rekam jejak kinerja sekolah.
Jika pemerintah daerah sebagai pelaksana ternyata belum siap menjalankan kebijakan pengintegrasian NISN dan NIK, maka langkah terbaik yang harus dipertimbangkan pemerintah adalah menunda implementasi MoU tersebut. Pergantian NISN menjadi NIK tanpa ada pelibatan banyak pihak yang berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan hanya akan menambah persoalan baru dan bukan solusi baru.
2. Pemerintah bentuk Posko Pengaduan .
Yang harus menjadi perhatian pula adalah ketika muncul permasalahan terkait NISN pada seorang anak, kemana orang tua harus mengadu? Kebiasaan yang seringkali terjadi di satu kementerian saja persoalan tidak bisa tuntas karena solusinya di lempar kesana kemari. Sudah jelas terbayang beratnya beban para orangtua mengurus hak pendidikan anak-anaknya yang akhirnya berdampak pula pada pemenuhan hak-hak atas pendidikan dan hak akses ke sekolah negeri terdekat.
Sistem pengaduan harus disertai standar operasional prosedur (SOP) yang jelas, sehingga saat masyarakat melapor ke posko pengaduan mendapatkan solusi yang jelas dan tidak di pingpong ke sana kemari.
3. Pembagian Zonasi yang tepat dan berkeadilan oleh Pemerintah Daerah
Berkaca dari PPDB sistem zonasi tahun 2018, dimana pembagian zonasi tidak dilakukan akurat oleh Dinas-dinas Pendidikan di daerah karena terdesaknya waktu. Maklum saja, aturan baru keluar awal Mei 2018, sementara kebijakannya sudah langsung di laksanakan pada awal Juli 2018, maka untuk pelaksanaan PPDB 2019 ini, Dinas Pendidikan di daerah wajib memahami kondisi daerahnya, seperti jumlah dan penyebaran sekolah negeri, kepadatan penduduk di suatu tempat dengan ketersediaan jumlah sekolah negeri, dan lain-lain.
Hal ini penting agar setiap anak tidak kehilangan haknya dalam mengakses sekolah negeri terdekat dari rumahnya.
PPDB 2018 lalu, ditemukan banyak kasus karena pembagian zonasi tidak mempertimbangkan jumlah penduduk dengan ketersediaan sekolah negeri di wilayah tersebut.
4. Pemerataan sarana prasarana pendidikan di semua sekolah negeri
Ketika membahas tentang wajib belajar 12 tahun dan PPDB berbasis zonasi, masalah yang selalu menyeruak kepermukaan diantaranya adalah mengenai minimnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah yang cukup bagi semua anak Indonesia.
Jumlah sekolah negeri yang tidak memadai di setiap zonasi, pemenuhan hak pendidikan setiap anak yang masih kurang direspon secara maksimal oleh pemerintah daerah, sehingga masih ditemui anak-anak yang tidak sekolah maupun yang putus sekolah, dan berbagai modus kecurangan yang muncul ketika PPDB, katanya.
(JuntakStar)