Opini Nasional, Media OL News Indonesia (30/07).
Kita punya segudang alasan untuk terus melihat kisah miris Palestina. Di tengah gencarnya pembangunan “mustahil†megapolitan negara Arab, kita masih harus melihat anak-anak dihantam rudal dan artileri di usia bermainnya. Ketika para pangeran Arab dan negeri muslim lainnya menikmati gedung pencakar langit serta hebohnya pembangunan di sekitar Ka’bah, kita dipaksa melongok bocah lusuh yang belum tahu arti perang, melempar Tank Israel dengan kerikil.
Tewasnya Razan Asyraf Al-Najjar, perawat sukarela Palestinian Medical Relief Society (PMRS) di Khuza’a (selatan Gaza) 1 Juni lalu menunjukan isu Israel-Palestina kian bergerak ke arah buritan. Artinya, bagaimanapun beringasnya penindasan di sana, tidak lagi menjadi isu sentral negara-negara di dunia. Selusin upaya menekan Amerika dan sekutunya sebagai negara berpengaruh atas konflik itu, hanya selalu berakhir keputusan njomplang yang merugikan salah satu pihak.
Menurut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), negara-negara Islam perlu memiliki terobosan yang selama 50 tahun terakhir berkarat dalam dunia diplomasi negara-negara muslim karena posisinya yang sarat kontroversi. Membuka hubungan dengan Israel.
Gus Dur (1940-2009) yang seorang kiai merupakan salah satu intelektual besar Islam yang tak hanya memahami peta politik internasional namun sekaligus mampu berkomunikasi dalam gaya politik ‘tingkat tinggi’. Kehadirannya dalam konferensi bisnis Internasional tiga hari setelah menjabat presiden melandasi keinginan membuka hubungan dagang dengan Israel.
Sontak, kontroversi dan gelombang protes bergulir menolak ide ini. Berbagai protes bahkan dari Amien Rais pada waktu itu terus menghimpit dan mengambil hati sebagian besar kehendak rakyat (Barton, G. J. 2005. Indonesia and Israel: a relationship in waiting. Jewish Political Studies Review, 17 (1), 157-170).
Hingga sekarang, tak ada akses berarti yang dapat dilakukan Indonesia untuk Palestina (Bantuan rakyat Indonesia dalam pembangunan infrastruktur seperti rumah sakit nyatanya tidak mampu membongkar pembicaraan lebih lanjut dalam politik tingkat tinggi negara-negara besar dunia).
Padahal, sebagaimana analisis Budiarto Shambazy, Politik Luar Negeri Gus Dur, 2010 lalu di Harian Kompas, pernyataan politik luar negeri perdana Gus Dur mengumumkan rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel dapat dimaknai dengan dua alasan: Pertama, menggairahkan hubungan dengan lobi Yahudi.
Indonesia paling tidak bisa minta tokoh Yahudi, George Soros, tak mengacaukan pasar uang/modal untuk menghindari krisis moneter. Kedua, meningkatkan posisi tawar Indonesia menghadapi Timur Tengah yang tak pernah membantu Indonesia mengatasi krisis moneter.â€
Selain itu Gus Dur mengintrodusir beberapa elemen utama dalam politik luar negeri Indonesia; menjaga jarak sama dengan semua negara, hidup bertetangga baik dan menciptakan â€kebajikan universal†serta memberi syarat agar Indonesia dilibatkan dalam proses perdamaian di Timur Tengah. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, akan didengar di ranah internasional (Kompas, 26 Oktober 1999).
Upaya Gus Dur membuka hubungan dagang dengan Israel nampaknya membenarkan pepatah lama “kenali musuhmu, maka di seribu pertempuran kau tidak akan kalah.†Dengan berteman dengan ‘lawan’ kita akan tahu dimana posisi yang menguntungkan dan pada momen apa kelemahan-kelemahannya bisa terkuak.
Akan tetapi itu semua tinggal kenangan. Hingga presiden Joko Widodo memimpin indonesia, kita belum juga punya formula revolusioner yang memantik perubahan tata dunia global dalam isu Palestina seperti saat Gus Dur menjabat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diharapkan punya gigi, kini hanya agensi yang tak punya fungsi. Kemanusiaan telah lama mati. Pada posisi ini, seringkali orang merasa perlu lepas dari sejarah, telanjang kembali ke pulau imajiner tak bercacat, karena peradaban bisa menakutkan.
Palestina adalah pengalaman pahit, yang terus berharap bayangan aura Tuhan. Ke depan, barangkali kita akan terus mendengar cerita-cerita kemenangan getir Israel dikemudian hari disisipi jiwa kepahlawanan para martir Palestina. Kita memang mengakui, Palestina kini, sebagaimana ungkap Mahmoud Darwish, “bepergian seperti orang lain, tetapi tak tahu kemana harus pulang.â€
Alternatif Jalan Damai (?)
Abdul Mutaali, Direktur Pusat Kajian Timur Tengah UI, dalam Tulisan yang dimuat harian Media Indonesia  tahun lalu (25 Juli 2017) menyuguhkan satu tulisan berjudul “Kapan Konflik Palestina-Israel Berhenti?.†Tulisan itu mengonfirmasi peristiwa di al-Aqsa 14 juli 2017 lalu, sebagaimana juga dicorongkan banyak media (Al Jazeera, the Telegraph, CNN, dan lain sebagainya) yang mengakibatkan pecahnya kekerasan Tentara Israel atas warga Palestina yang hendak beribadah di Masjid Al-Aqsa. Dengan kata lain, Palestina tidak hanya sedang dibantai fisiknya, tapi juga dicoba untuk “dibunuh†Tuhannya.
Kata “Kapan,†dalam pertanyaan retoris Mutaali, menurut saya menunjukan bahwa pesimisme jalan damai memang menghinggapi siapapun yang mendalami isu Palestina. Namun patut disayangkan, tulisan itu tidak secara cermat mengelaborasi peran Indonesia sebab hanya disinggung pada bagian akhir tulisan. Mutaali gagal mengamati potensi lain yang bisa diraih, selain hanya upaya diplomatis unofficial – dan sedikit dengan negara Timur Tengah- yang kita tahu, tidak sepenuhnya benar-benar menjanjikan baik dari sisi politik maupun rekonsiliasi.
Oleh sebab itu kita perlu mendorong satu upaya lain sebagai sebuah eksperimentasi gagasan yang barangkali perlu ditinjau dengan kejernihan pikiran. Sebab, kemampuan mengeja setiap pilihan menjadi sangat penting agar tidak terjerumus pada prasangka buruk atas satu produk pemikiran dan eksperimentasi.
Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Kabupaten Bogor.
(Man)