Berita Nasional, OLNewsindonesia,Senin (09/09)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong Peraturan President (Perpres) tentang Zonasi Pendidikan, yang bertujuan untuk memberi layanan akses yang berkeadilan bagi masyarakat, upaya pemerataan mutu pada semua satuan pendidikan, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Hal ini disampaikan Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan kepada OLNewsindonesia.com biro Samosir, melalui pres release pesan seluler WhatsApp (WA), Minggu (8/9).
KPAI mengapresiasi Pemerintah terkait kebijakan PPDB system Zonasi, karena tujuan dari sistem zonasi adalah untuk memberi layanan akses yang berkeadilan bagi masyarakat, upaya pemerataan mutu pada semua satuan pendidikan, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Namun, pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada zonasi siswa, namun harus disertai zonasi pendidikan, termauk zonasi guru.
Pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk PPDB, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan. Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, sampai kualitas sarana prasarana, akan ditangani berbasis zonasi.
Penerapan sistem zonasi bertujuan untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas, sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat.
Untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas, Kemendikbud memetakan penataan dan pemerataan guru, pemerataan infrastruktur, sharing resource, dan integrasi pendidikan formal dan nonformal.
Kebijakan Zonasi Sejalan dengan Kepentingan Terbaik Bagi Anak.
Sistem zonasi yang mendekatkan jarak rumah ke sekolah adalah suatu kebijakan yang sejalan dengan kepentingan terbaik bagi anak sebagaimana prinsip yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Jika anak bersekolah dekat dengan rumah, maka ada banyak dampak positif bagi anak, diantaranya :
1. Anak sehat karena setiap hari ke sekolah cukup jalan kaki atau naik sepeda. Selama ini banyak anak usia SMP dan SMA/SMK sudah diberikan sepeda motor untuk ke sekolah meskinpun belum memiliki SIM (Surat Ijin Mengemudi), pertimbangannya jauh, padahal keputusan tersebut justru sangat beresiko dan membahayakan keselamat anak-anak di jalan raya.
2. Anak-anak akan beristirahat cukup karena setiap hari, tidak perlu menempuh perjalanan beberapa jam untuk berangkat dan pulang sekolah, hal ini membuat anak tidak terlalu lelah di jalan dan cukup beristirahat.
3. Pencernaan anak-anak akan sehat karena jarak yang dekat membuat anak-anak sempat sarapan tanpa diburu-buru, bahkan makan siang pun bisa diantar orang rumah setiap hari setelah masakan di rumah matang.
4. Makan masakan rumah juga menjamin gizi seimbang anak-anak terpenuhi, mengingat sampai hari ini kantin-kantin sekolah masih didominasi dengan gorengan, jarang ada sayur dan buah, bahkan banyak menyajikan makanan yang mengadung penyedap, pengawet dan pewarna.
5. Menurunkan angka kekerasan kekerasan pada anak, karena teman main anak di rumah dan di sekolah sebagian besar sama dan orangtuanya saling mengenal.
6. Angka tawuran pelajar juga bisa diturunka, karena selama ini tawuran kerap dipicu oleh perjumpaan anak-anak berbeda sekolah di perjalanan dan dikendaraan umum menuju dan pulang sekolah.
7. Sistem zonasi memberikan akses kepada seluruh anak Indonesia untuk menikmati pendidikan yang berkualitas tanpa dibatasi oleh status social ekonomi, nilai Ujian Nasional, dan tidak bertumpu hanya pada kecerdasan akademik.
8. Penerapan sistem zonasi juga bisa menghilangkan label sekolah favorit dan non-favorit. Dengan demikian, ke depan semua sekolah negeri diharapkan setara secara kualitas, dan
9. Sistem zonasi dapat mendorong setiap anak mengoptimalkan diri sesuai dengan potensi dan kecerdasan yang dimilikinya, selama ini sekolah-sekolah hanya menghargai kecerdasan akademik. Padahal, tidak ada anak yang bodoh. Setiap anak memiliki kepintarannya masing-masing.
Macam macam Pengaduan dan Permasalah PPDB. Dari 95 pengaduan yang diterima posko pengaduan KPAI yang berasal dari 10 provinsi dan 33 kabupaten/kota, KPAI kemudian memilah dan mengkategorikan jenis pengaduan dalam 6 macam, yaitu :
1), Dugaan kecurangan sebanyak 23 pengaduan.
2). Sekolah negeri minim dan tidak merata sebanyak 17 pengaduan.
3). Tidak diterima Meski jarak rumah dengan sekolah relative sangat dekat, Menggunakan seleksi PPDB dengan Nilai UN sebanyak 14 pengaduan.
4). Tidak diterima Meski Berprestasi Karena Jarak Rumah Jauh Dari Sekolah ;
5), Masalah Domisili dan Kartu Keluarga.
6). Lain-lain (Sosialisasi, Menolak Kebijakan, Zona Beririsan dan Masalah Teknis).
Sekolah Negeri Minim dan Tidak Merata Penyebarannya
Sekolah negeri, terutama jenjang SMPN dan SMAN jumlahnya minim dan tidak menyebar merata. Saat ini, ada 394 kecamatan tidak memiliki SMP/MTs negeri dan 1.375 kecamatan tidak memiliki sekolah menengah negeri. Sebanyak 8.167 (29,2%) SMA/SMK di Indonesia merupakan sekolah kecil dengan kurang dari 100 siswa dan berkualitas rendah.
Pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) juga terekam belum merata. Angka partisipasi kasar jenjang PAUD baru sebesar 74,3% dan 82,9% PAUD belum terakreditasi. Adapun 16,5% dari 83.931 desa tidak memiliki PAUD (formal/nonformal) dan baru 90 kabupaten/kota yang melaksanakan PAUD satu tahun pra-SD.
Banyaknya SDN karena keberhasilan program SD Inpres (Instruksi Presiden) pada era Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Namun sayangnya, pembangunan SD Inpres tidak ditingkatkan dengan pembangunan SMPN Inpres dan SMAN Inpres. Pembangunan SMPN dan SMAN selama bertahun-tahun berjalan sangat lambat sehingga berdampak pada lama sekolah yang rendah.
Menurut data BPS, lama sekolah anak-anak Indonesia hanya 8,6 tahun untuk anak laki-laki dan 7,5 tahun untuk anak perempuan, artinya belum lulus jenjang SMP, karena lama sekolah untuk lulus SD harus 9 tahun.
Tidak hanya jumlahnya minim, SMAN juga penyebarannya tidak merata di berbagai daerah, dimana banyak kecamatan tidak memiliki sekolah negeri, misalnya di kabupaten Jember, kecamatan Bangsalsari tidak memiliki SMAN. Karena itu, jika zonasi SMAN dibagi berdasarkan kecamatan, maka anak-anak di kecamatan Bangsalsari tidak akan ada yang bisa mengakses SMA negeri. Ada beberapa kabupaten/kota yang di wilayah kecamatannya tidak memiliki sekolah negeri, misalnya : kecamatan Poris, (Kota Tangerang), Tangerang, kecamatan Bangsalsari (Jember), kecamatan Beji (Kota Depok), kecamatan Cipondoh (Kota Tangerang), kecamatan Pagedangan (Tangerang), kecamatan Kudu dan Ngusikan (Jombang), Kota Malang dan Tangerang Selatan.
Tidak diterima Meski jarak rumah dengan sekolah relative sangat dekat, Menggunakan seleksi PPDB dengan Nilai UN
Mayoritas asal pengadu yang melaporkan bahwa anak pengadu tidak diterima di sekolah negeri yang jaraknya hanya puluhan meter dari rumahnya berasal dari wilayah DKI Jakarta, karena setelah menentukan zona, maka seleksi ditentukan oleh hasil nilai Ujian Nasional (UN) anak pendaftar, artinya masih seleksi berdasarkan UN, bukan zonasi murni. Selain DKI Jakarta, ada juga pengadu dari Jawa Timur (kabupaten Kediri), D.I. Yogjakarta (kota Jogjakarta) dan Banten (kabupaten Tangerang).
Sistem zonasi bagi beberapa kota besar juga agak unik, misalnya di kota Surabaya dan kota Mataram ternyata ada kompleks pendidikan dimana sekolah-sekolah negeri numpuk di lokasi yang sama. Padahal, seiring berkembangnya kota, banyak penduduk yang pindah dari tengah kota ke daerah pinggiran. Penumpukan tersebut bisa disiasati dengan pembagian zona yang berbeda meskipun ada 4 SMA di lokasi yang sama, sehingga memungkinkan bagi anak-anak yang jauh dari sekolah tersebut bisa mengakses sekolah itu karena pembagian zona memungkinkan anak-anak yang jauh mendaftar, sehingga rumah para pendaftar sama-sama jauh juga secara meteran.
Keunikan lain adalah berdirinya rumah-rumah susun dan apartemen-apartemen di perkotaan yang pengukuran jaraknya menjadi sama secara meteran meski berbeda-beda lantai.
Tidak diterima Meski Berprestasi Karena Jarak Rumah Jauh Dari Sekolah
Anak pengadu yang secara akademik maupun prestasi lain di luar akademik seperti juara olahraga, seni suara, seni tari, seni music, dan public sepeaking, ternyata tetap tidak bisa diterima di SMA Negeri terdekat, padahal prestasinya ada yang di tingkat nasional. Merujuk pada Permendikbud No. 51 Tahun 2018 tentang PPDB maka semestinya ha katas pendidikan anak-anak tersebut wajib dipenuhi oleh pemerintah daerah. Kewajiban daerah terhadap pemenuhan hak inilah yang harus dipastikan oleh pihak terkait, termasuk KPAI sebagai lembaga pengawas.
Masalah Domisili dan Kartu Keluarga
Masalah domisili dan perpindahan kartu keluarga (KK) ini harus menjadi perhatian serius juga, mengingat ada pesyaratan kepindahan yaitu minimal sudah 1 (satu tahun), padahal banyak juga anak pengadu yang memang harus pindah, bukan karena berniat mendaftar ke sekolah negeri favorit, namun murni pindah satu keluarga karena memang rumah mereka pindah domisili. Ada juga kasus kepindahan kerja orangtua yang bukan PNS, padahal memang benar-benar dipindahhtugaskan ke daerah oleh kantornya dan harus memboyong keluarga pindah, namun salah satu anak akhirnya tidak bisa mendaftar ke sekolah negeri karena kepindahan berbeda provinsi.
LAIN-LAIN (Sosialisasi, Menolak Kebijakan, Zona Beririsan dan Masalah Teknis)
Pengaduan terkait minimnya sosialisasi PPDB sistem zonasi juga dikeluhkan oleh para pengadu, sehingga mereka kebingungan ketika mengetahui aturan-aturan dalam sistem zonasi, terutama bagi para orangtua yang rumahnya jauh dari sekolah negeri. Akibatnya, mereka berbondong-bondong mengantri di sekolah tujuan, bahkan ada yang sampai menginap karena beranggapan bahwa siap yang mendaftar lebih dahulu akan berpeluang besar di terima. Padahal peluang besar diterima adalah jarak rumah, makin dekat jarak rumah dengan sekolah maka makin berpeluang besar diterima di sekolah tersebut, meskipun nomor antrian mendaftarnya mencapai urutan 900an sekalipun.
Ada juga pengadu yang menyampaikan keluh kesah di email pengaduan KPAI, yang pada intinya yang bersangkutan menolak PPDB sistem zonasi karena dianggapnya tidak berkeadilan, istilah kelompok ini adalah “seleksi pakai meteran bukan kecerdasan akademikâ€.
Dari total pengaduan sebanyak 95 hanya 9.5% yang menolak sistem zonasi. 91.5% pengadu mendukung sistem zonasi , namun dengan berbagai catatan. Mayoritas pengadu menyayangkan penerapan 90% zonasi murni dalam Permendikbud No. 51/2019, sementara jumlah sekolah negeri belum merata penyebarannya.
Zona beririsan juga mewarnai pengaduan, karena jika menggunakan jarak rumah, maka sekolah terdekat justru bukan zona pendaftarannya, kalau harus berdasarkan pembagian zonanya maka sekolah negeri justru jauh dan peluang diterima pasti sangat kecil. Zona beririsan ini meliputi wilayah kecamatan dan kabupaten/kota dan ada juga yang provinsi. Kalau masih antar kecamatan dan antar kota/kabupaten tapi dalam provinsi yang sama semestinya zona beririsan ini dapat dilaksanakan sehingga anak-anak di wilayah perbatasan kota/kabupaten tetap terlayani dan bisa mengakses sekolah negeri terdekat.
Pengaduan KPAI juga menerima pengaduan terkait masalah-masalah teknis, misalnya server yang down sementara, sistem PPDB yang ditutup sementara, dan juga nama anak pengadu terlempar ke sekolah yang sangat jauh yang jaraknya mencapai 32 KM. Padahal masalah-masalah teknis semacam ini seharusnya langsung diadukan ke dinas pendidikan setempat. Mengadu ke KPAI untuk urusan teknis menunjukkan bahwa sosialisasi ke orangtua pendaftar minim.
Pengawasan PPDB
Selain data poskoh pengaduan, KPAI juga akan menyampaikan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Tim pengawasan PPDB yang dibentuk KPAI, yang sudah melakukan pengawasan langsung dengan mewawancarai pihak sekolah, petugas pendaftaran, orangtua dan calon peserta didik baru. Pengawasan dilakukan di beberapa daerah dan langsung ke sekolah, diantaranya : Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Bogor, dan DKI Jakarta.
Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) juga melakukan pengawasan di daerahnya masing-masing dengan menggunakan indiKator pengawasan yang disusun KPAI. Ada dua KPAD yang menyampaikan laporan hasil pengawasannya ke KPAI, yaitu Labuan Batu, Sumatera Utara dan Kota Jogjakarta, DIY.
Pengawasan langsung ke berbagai SMAN Negeri di Jabodetabek dilaksanakan pada 17-21 Juni 2019, oleh 9 orang di tempat yang berbeda-beda. Para responden diwawancarai saat mendaftar ke sekolah yang dituju untuk para orangtua, sedangkan untuk responden dari panitia di sekolah diwakili oleh kepala sekolah dan petugas pendaftaran satu orang.
Selain itu, ada 3 (tiga) Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) yang ikut serta dalam pengawasan PPDB sistem zonasi tahun 2019 di daerahnya masing-masing, yaitu KPAD kota Jogjakarta (Daerah Istimewa Jogjakarta), KPAD kabupaten Subang, dan KPAD kabupaten Labuanbatu (Sumatera Utara).
REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis dari pengaduan PPDB sistem Zonasi yang diterima, maka Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan kesimpulan sekaligus rekomendasi sebagai berikut :
Pertama, Dari total pengaduan sebanyak 95 kurang dari 10% yang menolak sistem zonasi. Mayoritas pengadu mendukung sistem zonasi , namun dengan berbagai catatan. Mayoritas pengadu menyayangkan penerapan 90% zonasi murni dalam Permendikbud No. 51/2019, sementara jumlah sekolah negeri belum merata penyebarannya dan masih minim jumlahnya, terutama di jenjang SMP dan SMA.
Kedua, Minimnya sekolah negeri dijenjang SMP dan SMA haruslah di atasi segera dengan membangun sekolah dan infrastruktur pendidikan yang mendukung kualitas pendidikan. Kalau tidak segera ditambah, maka setiap tahun kita akan menghadapi keluhan masyarakat dan masalah PPDB di setiap daerah. Oleh karena itu, KPAI mendorong pemerintah pusat tidak hanya melakukan zonasi siswa, tetapi juga zonasi guru dan zonasi pendidikan yang melibatkan setidaknya 8 Kementerian/Lembaga, diantaranya KemenPUPR yang harus membangun infrastruktur pendidikan berbasis zonasi, Kemenkeu menyediakan anggaran dalam pelaksanaan zonasi pendidikan, Bappenas menyusun perencanaan tata ruang wilayah terkait bidang pendidikan sesuai zonasi pendidikan, serta KemenPANRB akan menentukan pengendalian formasi guru.
Ketiga, sistem zonasi dalam PPDB mendorong terciptanya pendidikan berkeadilan bagi anak-anak Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi Republik Indonesia. Namun, pendidikan yang berkeadilan adalah berkaitan dengan akses pendidikan, belum mencapai pendidikan yang berkualitas. Sejatinya pendidikan nasional harus berkeadilan dan berkualitas. Hanya menzonasi siswa tanpa menzonasi guru dan zonasi pendidikan tidak akan mendongkrak kualitas pendidikan. Zonasi pendidikan tidak hanya digunakan untuk mendekatkan anak dengan sekolah, sistem zonasi ini juga dapat digunakan untuk menambah guru dan mutasi guru, serta menentukan pembangunan sarana dan prasarana sekolah yang membutuhkan.
Keempat, KPAI mendorong lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang sistem zonasi pendidikan dibutuhkan sebagai sarana kolaborasi dan sinergi antar kementerian/ /lembaga dengan pemerintah daerah. Untuk keberhasilan sistem zonasi pendidikan diperlukan sinergi kebijakan antar kementerian untuk upaya melayani dan memenuhi hak atas pendidikan berkualitas bagi seluruh anak Indonesia. Setidaknya ada delapan kementerian dan lembaga akan terlibat dalam sistem zonasi pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kelima, Delapan Kementerian dan lembaga yang akan berperan dalam sistem zonasi adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat(KemenPUPR), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Bappenas. Kemendagri diharapkan akan mengordinasikan kepala daerah dalam menyusun kebijakan pendidikan, Kementerian Agama akan memastikan satuan pendidikan formal dan nonformal yang berada di bawah kewenangannya diikutkan dalam zonasi pendidikan, Kemenristekdikti akan menyelaraskan lembaga pendidikan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan guru nasional.
Keenam, KPAI mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara konsisten dan terus menerus melakukan pemerataan sumber dana dan sumber daya ke seluruh sekolah negeri yang ada, tidak hanya berfokus pada sekolah-sekolah tertentu yang dianggap unggul selama ini.
Ketujuh, Berkaitan dengan pengaduan-pengaduan yang diterima, KPAI menyampaikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Dugaan kecurangan;
Untuk dugaan kecurangan dalam PPDB tahun 2019, KPAI mendorong pihak terkait yang memiliki kewenangan untuk pembinaan dan pengawasan internal, seperti inspektorat memeriksa pihak yang diadukan, sehingga dapat dicarikan solusi agar kedepan kasus yang sama dapat dicegah atau tidak terulang kembali;
2. Sekolah negeri minim dan tidak merata.
Untuk daerah yang wilayah kelurahan atau kecamatannya tidak ada SMPN dan atau SMAN maka daerah yang bersangkutan segera menyusun perencanaan bagi pembangunan gedung SMPN dan atau SMAN agar anak-anak di wilayah tersebut dapat mengakses sekolah negeri. Pemenuhan hak atas pendidikan merupakan hak dasar yang wajib dipenuhi Negara dalam keadaan apapun;
3. Tidak diterima Meski jarak rumah dengan sekolah relative sangat dekat.
Karena seleksi PPDB di wilayah tersebut menggunakan nilai UN (sebanyak 14 pengaduan), dimana yang terbanyak berasal dari DKI Jakarta. KPAI mendorong Kemdikbud berkomunikasi dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta agar dapat melaksanakan PPDB dengan sistem zonasi murni, apalagi DKI Jakarta memiliki sekolah negeri yang terbanyak, jauh diatas rata-rata daerah lainnya di Indonesia;
4. Tidak diterima Meski Berprestasi Karena Jarak : Rumah Jauh Dari Sekolah.
Untuk masalah ini, sangat berhubungan erat dengan minimnya sekolah negeri dan tidak merata pula penyebarannya, oleh karena itu KPAI mendorong pemerintah daerah segera merencanakan penambahan sekolah negeri baru, terutama di wilayah-wilayah yang minim atau bahkan tidak ada sekolah negerinya.
5. Masalah Domisili dan Kartu Keluarga;
Untuk masalah perpindahan domisili dan kartu keluarga (KK) perlu dipikirkan solusinya dan seharusnya fleksibel juga, karena ada keluarga yang memang benar-benar pindah KK dan kebetulan belum satu tahun perpindahannya.
Mencegah perpindahan KK dengan maksud mengincar sekolah tertentu hingga rela membayar sejumlah uang yang tidak kecil nilainya tentu harus diantisipasi dengan bijak dan menggunakan sistem yang aman dan terukur. Tentu saja penting melibatkan Dinas Dukcapil setempat.
6. Lain-lain (Sosialisasi, Menolak Kebijakan, Zona Beririsan dan Masalah Teknis); Untuk masalah-masalah teknis seperti masalah token, masalah sosialisasi juknis PPDB, dan zona beririsan tentu harus diselesaikan oleh pihak terkait dalam hal ini Dinas Pendidikan setempat yang dapat diatasi dengan membuka posko pengaduan, baik pengaduan langsung maupun pengaduan online.
(JuntakStar